Selasa, 26 Juni 2012

SHADAQAH


SHADAQAH
  1. PENGERTIAN SHADAQAH
    Shadaqah adalah pemberian sesuatu yang bersifat kebaikan dari seseorang kepada orang lain atau dari satu pihak kepada pihak lain tanpa mengharapkan apa-apa kecuali ridha Allah. Pengertian shadaqah sangat luas sebab semua yang kita berikan berupa kebaikan atau yang bermanfaat baik kepada manusia maupun binatang adalah shadaqah. Pengertian shadaqah tidak hanya berbentuk harta atau materi tapi juga immateri/rohaniyah. Semua pemberian yang kita berikan adalah cabang daripada shadaqah termasuk zakat, senyum kebaikan, dll.

     

    Di dalam Alquran banyak sekali ayat yang menganjurkan kaum Muslimin untuk senantiasa memberikan sedekah. Di antara ayat yang dimaksud adalah firman Allah SWT yang artinya:
    ''Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberi kepadanya pahala yang besar.'' (QS An Nisaa [4]: 114).
  2. HUKUM SHADAQAH
    Shadaqah itu sangat dianjurkan oleh agama karena dampaknya sangat luas baik bagi kehidupan individu maupun masyarakat bahkan bagi kelangsungan hidup beragama. Shadaqah yang sudah ditentukan ukuran, bentuk, dan waktunya seperti zakat hukumnya adalah wajib. Sedangkan yang tidak ditentukan jumlah dan waktunya hukumnya adalah sunnah muakkadah. Kecuali jika ada orang yang sangat membutuhkan uluran tangan orang yang mampu maka hukumnya adalah wajib. Adapula shadaqah yang tidak sah yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain yang sudah mati.
  3. SYARAT-SYARAT SHADAQAH
    a. Orang yang memberikan shadaqah itu sehat akalnya dan tidak dibawah perwalian orang lain. Shadaqah orang gila, anak-anak dan orang kurang sehat jiwanya seperti pemboros tidak sah shadaqahnya.
    b. Penerima shadaqah haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena keadaannya yang terlantar. Maka shadaqah yang diberikan kepada orang yang cukup tidak sah.
    c. Penerima shadaqah haruslah orang yang berhak memiliki jadi shadaqah kepada anak dalam kandungan tidak sah.
    d. Barang yang dishadaqahkan atau dihadiahkan harus bermanfaat bagi penerimanya.
  4. RUKUN SHADAQAH
    a. Pemebri
    b. Penerima
    c. Ijab dan qabul artinya pemberi menyatakan memberi dan penerima menyatakan menerima
    d. Barang atau benda yang dishadaqahkan.
    5. HIKMAH SHADAQAH
       a. Dapat menolong orang yang membutuhkan dan memererat silaturrahim diantara 
           sesamanya.
       b. Sebagai obat obat dari penyakit
       c. Dapat meredam murka Alloh atau menolak bencana dan menambah umur
       d. Memperoleh pahala yang mengalir terus
       e. Akan bertambah rizkinya
       f. Mengahpuskan kesalahan
       g. Mendapat balasan yang setimpal
       h. Mendapat pertolongan Allah di akhirat.

MAWARIS

MAWARIS


 

A. PENGERTIAN

Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (موارث), yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar'i.

Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.

Sedangkanm istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.

Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan sebagai berikut; soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.

Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang oleh ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan

B. TUJUAN KEWARISAN ISLAM

Adapun tujuan kewarisan dalam Islam dapat kita rumuskan sebagai berikut :

1. Penetapan bagian-bagian warisan dan yang berhak menerima secara rinci dan jelas, bertujuan agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikan antara ahli waris. Karena dengan ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing ahli waris harus mengikuti ketentuan syariat dan tidak bisa mengikuti kehendak dan keinginan masing-masing.

2. Baik laki-laki maupun perempuan mendapat bagian warisan (yang pada masa jahiliyah hanya laki-laki yang berhak) sebagai upaya mewujudkan pembagian kewarisan yang berkeadilan berimbang. Dalam artian masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan porposi beban dan tanggung jawabnya.

C. UNSUR KEWARISAN

Dalam kewarisan Islam terdapat tiga unsur (rukun), yaitu :

1. Maurus.

Maurus atau miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini yang diamaksdukan hal tersebut adalah :

a. Kebendaan yan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati, diyat wajibah (denda wajib) yang dibayarkan kepadanya.

b. Hak-hak kebendaan, seperti monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi dan lain sebagainya.

c. Benda-benda yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar dan hak syuf'ah, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan sebagainya.

d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang sedang digadaikan, benda yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hdup yang sudah dibayar tetapi barang belum diterima.

2. Muwaris.

Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya.

3. Waris.

Waris, adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan muwaris karena mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan atau akibat memerdekakan hamba sahaya.

B. SYARAT KEWARISAN

Adapun syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam Islam adalah ;

1. Matinya muwaris.

Kematian muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu :

a. Mati haqiqy.

Mati haqiqy, ialah kematian seseorang yang dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.

b. Mati hukmy.

Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim. Misalnya orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya, maka terhadap orang yang sedemikian hakim dapat memvonis telah mati. Dalam hal ini harus terlebih dahulu mengupayakan pencarian informasi keberadaannya secara maksimal.

c. Mati taqdiry (menurut dugaan).

Mati taqdiry, yaitu orang yang dinyatakan mati berdasarkan dugaan yang kuat. Semisal orang yang tenggelam dalam sungai dan tidak diketem,ukan jasadnya, maka orang tersebut berdasarkan dugaan kuat dinyatakan telah mati. Contoh lain, orang yang pergi kemedan peperangan, yang secara lahiriyah mengancam jiwanya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dapat melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal.

2. Hidupnya waris.

Dalam hal ini, para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat kematian muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaiatan dengan bayi yang masih berada dalam kandungan akan dibahas secara khusus.

3. Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi.

Tidak ada penghalang kewariosan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hal-hal yang menjad penghalang kewarisan.


 

WAKAF

WAKAF

1. Pengertian Wakaf

Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syarak, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.

Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:

Pengertian wakaf menurut mazhab syafi'i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta'alaa

Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta'alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan

Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri

Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat

Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.

Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits:

اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)

Artinya: "Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya." (HR Muslim)

Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: "Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan." (HR Bukhari dan Muslim)


 

2. Rukun Wakaf

Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf 'alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).

3. Syarat Wakaf

Syarat wakaf yang menjadi syarat utama agar dapat sahnya suatu akad wakaf adalah seorang wakif telah dewasa, berakal sehat, tidak berhalangan membuat perbuatan hukum, dan pemilik utuh dan sah dari harta benda yang diwakafkan.

Akad wakaf yang diikrarkan seorang wakif harus disaksikan oleh dua orang saksi dan pejabat pembuat akta wakaf. Ikrar akad wakaf dilaksanakan dengan ikrar dari wakif untuk menyerahkan harta benda yang dimiliki secara sah untuk diurus oleh nadzir (orang yang mengurus harta wakaf) demi kepentingan ibadah dan kesejahteraan masyarakat.


 

RUJUK

RUJUK

  1. Pengertian Rujuk

    Rujuk menurut bahasa artinya kembali, sedangkan menurut istilah adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak raj'i. sebagaimana Firman allah dalam surat al-baqarah :228

    "Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka(para suami) itu menghendaki islah". (Q.S.Al-Baqarah:228)

    Bila sesorang telah menceraikan istrinya, maka ia dibolehkan bahkan di anjurkan untuk rujuk kembali dengan syarat keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali (islah). Dalam KHI pasal 63 bahwa Rujuk dapat dilakukan dalam hal:

    a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang di jatuhkan qabla al dukhul.

    b. Putus perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.


     

  2. Syarat Rujuk

    a) Saksi untuk rujuk

    Fuqaha berbeda pendapat tentang adanya saksi dalam rujuk, apakah ia menjadi syarat sahnya rujuk atau tidak. Imam malik berpendapat bahwa saksi dalam rujuk adalah disunnahkan, sedangkan Imam syafi'I mewajibkan. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena pertentangan antara qiyas dengan zahir nas Al-qur'an yaitu:

    "…….dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil….."

    Ayat tersebut menunjukan wajibnya mendatangkan saksi. Akan tetapi pengkiasan haq rujuk dengan hak-hak lain yang diterima oleh seseorang, menghendaki tidak adanya saksi. Oleh karena itu, penggabungan antara qiyas dengan ayat tersebut adalah dengan membawa perintah pada ayat tersebut sebagai sunnah.

    b) Belum habis masa iddah

    c) Istri tidak di ceraikan dengan talak tiga

    d) Talak itu setelah persetubuhan

    Jika istri yang telah di cerai belum perah di campuri, maka tidak sah untuk rujuk, tetapi harus dengan perkawinan baru lagi.


     

  3. Rukun Rujuk

    1) Suami yang merujuk

    Syarat-syarat suami sah merujuk:

    a) Berakal

    b) Baligh

    c)Dengan kemauan sendiri

    d) Tidak di paksa dan tidak murtad

    2) Ada istri yang di rujuk

    Syarat istri yang di rujuk:

    a) Telah di campuri

    b) Bercerai dengan talak bukan dengan fasakh

    c) Tidak bercerai dengan khuluk

    d) Belum jatuh talak tiga.

    e) Ucapan yang menyatakan untuk rujuk.

    3). Kedua belah pihak (mantan suami dan mantan istri) sama-sama suka, dan yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik.

    4) Dengan pernyataan ijab dan qabul

D. Hukum Rujuk

1. Wajib apabila Suami yang menceraikan salah seorang isteri-isterinya dan dia belum menyempurnakan pembahagian giliran terhadap isteri yang diceraikan itu.

2. Haram Apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada isteri tersebut.

3. Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.

4. Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.

5. Sunat Sekiranya mendatangkan kebaikan.


 

E. Hikmah Rujuk

1) Dapat menyambung semula hubungan suami isteri untuk kepentingan kerukunan numah tangga

2) Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.

3) Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian

 
 

NIKAH


 

NIKAH DALAM ISLAM


 

  1. Pengertian Nikah

    Nikah menurut bahasa Arab ialah Berhimpun atau wata'. Sedangkan menurut syara' ialah suatu akad yang memperbolehkan seorang pria dan wanita bergaul bebas (wata') dan dalam upacara akad nikah dipergunakan kata "nikah", "tazwij" atau terjemahannya.

  1. Hukum Nikah
    1. Sunnah, untuk menikah bila yang bersangkutan :
    - Siap dan mampu menjalankan keinginan biologi,
    - Siap dan mampu melaksanakan tanggung jawab berumah tangga.


    2. Wajib menikah, apabila yang bersangkutan mempunyai keinginan biologi yang kuat, untuk menghindarkan dari hal-hal yang diharamkan untuk berbuat maksiat, juga yang bersangkutan telah mampu dan siap menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga.
    Hal ini sesuai dengan firman Allah (Q.S An-Nur : 33).


    3. Makruh, apabila yang bersangkutan tidak mempunyai kesanggupan menyalurkan biologi, walau seseorang tersebut sanggup melaksanakan tanggung jawab nafkah, dll. Atau sebaliknya dia mampu menyalurkan biologi, tetapi tidak mampu bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban dalam berumah tangga.


    4. Haram menikah, apabila dia mempunyai penyakit kelamin yang akan menular kepada pasangannya juga keturunannya.

    1. Rukun Nikah

      - Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita
      - Ada wali pengantin perempuan
      - Ada dua orang saksi pria dewasa
      - Ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari pengantin pria)

D. Syarat-Syarat Sah nikah

1. Mempelai Laki-Laki / Pria
- Agama Islam
- Tidak dalam paksaan
- Pria / laki-laki normal
- Tidak punya empat atau lebih istri
- Tidak dalam ibadah ihram haji atau umroh
- Bukan mahram calon istri
- Yakin bahwa calon istri halal untuk dinikahi
- Cakap hukum dan layak berumah tangga
- Tidak ada halangan perkawinan

2. Mempelai Perempuan / Wanita
- Beragama Islam
- Wanita / perempuan normal (bukan bencong/lesbian)
- Bukan mahram calon suami
- Mengizinkan wali untuk menikahkannya
- Tidak dalam masa iddah
- Tidak sedang bersuami
- Belum pernah li'an
- Tidak dalam ibadah ihram haji atau umrah

3. Syarat Wali Mempelai Perempuan
- Pria beragama islam
- Tidak ada halangan atas perwaliannya
- Punya hak atas perwaliannya

4. Syarat Bebas Halangan Perkawinan Bagi Kedua Mempelai
- Tidak ada hubungan darah terdekat (nasab)
- Tidak ada hubungan persusuan (radla'ah)
- Tidak ada hubungan persemendaan (mushaharah)
- Tidak Li'an
- Si pria punya istri kurang dari 4 orang dan dapat izin istrinya
- Tidak dalam ihram haji atau umrah
- Tidak berbeda agama
- Tidak talak ba'in kubra
- Tidak permaduan
- Si wanita tidak dalam masa iddah
- Si wanita tidak punya suami

5. Syarat-Syarat Syah Bagi Saksi Pernikahan/Perkawinan
- Pria / Laki-Laki
- Berjumlah dua orang
- Sudah dewasa / baligh
- Mengerti maksud dari akad nikah
- Hadir langsung pada acara akad nikah

6. Syarat-Syarat/Persyaratan Akad Nikah Yang Syah :
- Ada ijab (penyerahan wali)
- Ada qabul (penerimaan calon suami)
- Ijab memakai kata nikah atau sinonim yang setara.
- Ijab dan kabul jelas, saling berkaitan, satu majelis, tidak dalam ihrom haji/umroh.

TALAK (CERAI)

TALAK (CERAI)

  1. Pengertian Talak

    1). Menurut Ulama mazhab Hanafi dan Hanbali mengatakan bahwa talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang akan datang dengan lafal yang khusus.

    2). Menurut mazhab Syafi'i, talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan itu.

    3). Menurut ulama Maliki, talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.

Perbedaan definisi diatas menyebabkan perbedaan akibat hukum bila suami menjatuhkan talak Raj'i pada istrinya. Menurut Hanafi dan Hanbali, perceraian ini belum menghapuskan seluruh akibat talak, kecuali iddah istrinya telah habis. Mereka berpendapat bahwa bila suami jimak dengan istrinya dalam masa iddah, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai pertanda rujuknya suami. Ulama Maliki mengatakan bila perbuatan itu diawali dengan niat, maka berarti rujuk. Ulama syafi'i mengatakan bahwa suami tidak boleh jimak dengan istrinya yang sedang menjalani masa iddah, dan perbuatan itu bukanlah pertanda rujuk. karena menurut mereka, rujuk harus dilakukan dengan perkataan atau pernyataan dari suami secara jelas, bukan dengan perbuatan.

Kalimat yang di pakai dalam talak ada dua macam, yaitu:

  1. Sharih (terang) yaitu kalimat yang tidak di ragukan lagi bahasa yang dimaksud adalah memutuskan ikatan perkawinan.
  2. Kinayah (sindiran) yaitu kalimat yang masih ragu-ragu boleh dikaitkan untuk perceraian nikh atau yang lainnya. Kalimat sindiran ini tergantung pada niatnya, artinya kalau tidak di niatkan untuk perceraian maka tidaklah jatuh talak.
    1. Macam-Macam Hukum Talak

      Talak adalah suatu sistem perceraian perkawinan yang dilakukan karena ada faktor yang memerlukan atau karena darurat.

      Wewenang untuk menjatuhkan talak berada ditangan suami, demikian ketetapan syari'at. Al-Qur'an menegaskan : " Kaum laki-laki adalah pemimpin (pengayom bagi kaum wanita), karena beberapa hal, Allah Taala telah memberi kelebihan kepada sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan lagi karena laki-laki memberi nafkah dari harta kekayaannya sendiri." Oleh karenanya, adanya tugas-tugas jaminan dan pengayoman dan nafkah isteri atas pundak suami maka diletakkan wewenang talak itu ditangan suami.

      Ada 5 macam hukum talak menurut mazhab Hambali, yaitu :

      1. Talak wajib, ialah yang dilakukan oleh dua orang hakam (penengah) atau hakim sebagai akibat syiqaq suami isteri yang tidak dapat didamaikan, dan kedua hakam berpendapat, bahwa hanya talaklah merupakan jalan penyelesaian mereka yang terakhir.
      2. Talak haram, yaitu talak yang dijatuhkan tanpa sebab. Pekerjaan yang demikian akan merugikan kedua pihak dan menghilangkan kemaslahatan mereka yang dapat dicapai oleh perkawinan itu. Rasulullah bersabda : "Tidak ada sesuatu yang sangat dimarahi Allah dari apa yang telah menghalalkannya, melainkan perbuatan talak."Rasulullah bersabda : "Perbuatan halal yang dimarahi Allah" ialah talak, maksudnya ialah perbuatan talak itu melenyapkan nikmat Allah kepada hamba-Nya.
      3. Talak mubah, yaitu karena ada suatu sebab seperti isteri tidak dapat menjaga diri dikala tidak ada suaminya, isteri yang berbahaya terhadap suami atau yang tidak baik akhlaknya.
      4. Talak sunat, yaitu talak terhadap isteri yang menyia-nyiakan kewajibannya terhadap Allah, seperti tidak mengerjakan ibadah, meskipun berulang kali diperingatkan, atau wanita itu tidak saleh.
      5. Talak makruh, yaitu talak yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada isterinya yang saleh, isteri yang berbudi mulia, Rasulullah menganjurkan supaya laki-laki memilih wanita yang taat kepada agama (saleh) menjadi isterinya.
    2. Rukun-Rukun Talak

      Rukun talak ada lima, sebagai berikut :

      1. Sighat
      2. Mahall, yaitu tempat gugur talak, ialah isteri.
      3. Wilayah, yaitu suami mempunyai wewenang menjatuhkan talak.
      4. Qasd, yaitu niat
      5. Mutalliq, yaitu suami

    Supaya talaknya sah, suami harus sudah akilbaligh dan menjatuhkan talak atas ikhtiarnya sendiri bukan atas paksaan orang lain.

    1. Pembagian Talak
      1. Dari segi cara suami menjatuhkan

        Dilihat dari segi cara suami menjatuhkan talak pada istrinya, talak dibagi menjadi2, yaitu:

        1. Talak Sunni: talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istri dalam keadaan suci atau tidak bermasalah secara hukum syara', seperti haidh, dan selainnya.
        2. Talak Bid'i: talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istrinya dalam keadaan haid, atau bermasalah dalam pandangan syar'i.
      2. Dilihat dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya, maka talak dibagi menjadi dua, yaitu talak raj'i dan talak ba'in.
        1. Talak Raj'i: Talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya (talak 1 dan 2) yang belum habis masa iddahnya. Dalam hal ini suami boleh rujuk pada istrinya kapan saja selama masa iddah istri belum habis.
        2. Talak Ba'in: Talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis masa iddahnya. Dalam hal ini, talak ba'in terbagi lagi pada 2 yaitu: talak ba'in sughra dan talak ba'in kubra.

          Talak ba'in sughra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya (talak 1 dan 2) yang telah habis masa iddahnya. suami boleh rujuk lagi dengan istrinya, tetapi dengan aqad dan mahar yang baru. sedangkan talak ba'in kubra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya bukan lagi talak 1 dan 2 tetapi telah talak 3. dalam hal ini, suami juga masih boleh kembali dengan istrinya, tetapi dengan catatan, setelah istrinya menikah dengan orang lain dan bercerai secara wajar. oleh karena itu nikah seseorang dengan mantan istri orang lain dengan maksud agar mereka bisa menikah kembali (muhallil) maka ia dilaknat oleh Rasulullah SAW. dalam salah satu haditsnya. " Talak dua: pernyataan talak yang dijatuhkan sebanyak dua kali dan memungkinkan suami rujuk dengan istri sebelum selesai masa iddah. Talak tiga: pernyataan talak yang bersifat final." Suami dan istri tidak boleh rujuk lagi, kecuali sang istri pernah dikawini oleh orang lain lalu diceraikan olehnya.


           


       

RIBA


RIBA DALAM PANDANGAN ISLAM

A.    Pengertian Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah “tambahan”, adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt: (ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham.[1]
Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.[2]
B.     Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:[3]

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279)

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS. Al-Baqarah : 275)

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(1) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (4) makan riba, (5) makan harta anak yatim, (6) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (7) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (HR. Bukhari)

Sedangkan berdasarkan ijma’, bahwa seluruh ulama  sepakat bahwa riba diharamkan islam.

C.                          Macam-Macam Riba[4]

1. Riba Fadl
Riba fadl disebut juga riba buyu yaitu yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlanbi mistlin), sama kualitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan waktu penyerahannya (yadan bi yadin).

2. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah juga riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat hutang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi dhaman).
Jadi alghunmu (untung) muncul tanpa adanya resiko (al ghurmi), hasil usaha (al kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al ghunmu dan al kharaj muncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang diluar wewenang manusia adalah bentuk kezaliman mari kita sima dua firman Allah dalam surat yang berbeda berikut ini:
QS. Al Hasyr ayat 18
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
QS. Luqman ayat 34
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

3. Riba Jahiliyah
Riba jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebih dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan.




[2] http://nurkomariah77.blogspot.com/2011/12/riba-dalam-islam-riba-berarti.html
[3] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung, Pustaka Setia, 2001, hlm. 260-261.
[4] http://nurkomariah77.blogspot.com/2011/12/riba-dalam-islam-riba-berarti.html

JUAL BELI

JUAL-BELI


 

  1. Pengertian Jual-Beli

    Jual beli menurut etimologi, diartikan:

    "Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)"

    Sedangkan menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:

    1. Menurut ulama Hanafiyah: "Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan)."
    2. Menurut Imam Nawawi : "Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan."
    3. Menurut Ibnu Qudamah : "pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik."
  2. Landasan Syara'.
    1. Al-Qur'an

      " Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."

      (QS. Al-Baqarah: 275)


       

      "kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka."

      (QS. An-Nisa' : 29)

    2. As-Sunnah

      Artinya : "Nabi SAW. Ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab, Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur." (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa'ah Ibn Rafi')

    3. Ijma'

      Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alas an bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang yang sesuai.

  3. Rukun Jual Beli

    Dalam menetapkan rukun jual beli, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

    Adapun rukun jual beli menurut Jumhur ulama ada empat, yaitu:

    1. Bai' (penjual)
    2. Mustari (pembeli)
    3. Shighat (ijab dan qabul)
    4. Ma'qud 'alaih (benda atau barang).
  4. Syarat Jual Beli

    Dalam jual beli terdapat empat macam syarat, yaitu:

    1. Syarat terjadinya akad (in'iqad)
    2. Syarat sahnya akad
    3. Syarat terlaksananya akad (nafadz)
    4. Syarat lujum

Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk menghindarkan pertentangan diantara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang sedang akad, menghindari jual beli gharar (terdapat unsure penipuan), dll.

Jika jual beli tidak memenuhi syarat terjadinya akad, akad tersebut batal. Jika tidak memenuhi syarat sah, menurut ulama Hanafiyah, akad tersebut fasid. Jika tidak memenuhi syarat nafadz, akad tersebut mauquf yang cenderung boleh, bahkan menurut ulama Malikiyah, cenderung kepada kebolehan. Jika tidak memenuhi syarat lujum, akad tersebut mukhayyir (pilih-pilih), baik khiyar untuk menetapkan maupun membatalkan.

  1. Hukum Jual Beli

    Adapun menurut ulama Hanafiyah, dalam masalah muamalah terkadang ada suatu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari syara' sehingga tidak sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan syariat. Akad seperti itu adalah rusak, tetapi tidak batal. Dengan kata lain, ada akad yang batal saja dan ada pula yang rusak saja. Lebih jauh tentang penjelasan jual beli sahih, fasad, dan batal adalah sebagai berikut ini:

    1. Jual beli sahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad.
    2. Jual beli batal adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun, atau yang tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil.
    3. Jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.
  2. Macam-macam Jual Beli.

    Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam:

    1. Jual beli saham
      (pesanan) adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
    2. Jual beli muqayadhah
      (barter) adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
    3. Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.
    4. Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.

Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat bagian :

  1. Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah).
  2. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah).
  3. Jual beli rugi (al-khasarah)
  4. Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang akad saling meridhai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.


 

JUAL BELI

JUAL-BELI DALAM ISLAM


 

  1. Pengertian Jual-Beli

    Jual beli menurut etimologi, diartikan:

    "Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)"

    Sedangkan menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:

    1. Menurut ulama Hanafiyah: "Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan)."
    2. Menurut Imam Nawawi : "Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan."
    3. Menurut Ibnu Qudamah : "pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik."
  2. Landasan Syara'.
    1. Al-Qur'an

      " Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."

      (QS. Al-Baqarah: 275)


       

      "kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka."

      (QS. An-Nisa' : 29)

    2. As-Sunnah

      Artinya : "Nabi SAW. Ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab, Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur." (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa'ah Ibn Rafi')

    3. Ijma'

      Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alas an bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang yang sesuai.

  3. Rukun Jual Beli

    Dalam menetapkan rukun jual beli, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

    Adapun rukun jual beli menurut Jumhur ulama ada empat, yaitu:

    1. Bai' (penjual)
    2. Mustari (pembeli)
    3. Shighat (ijab dan qabul)
    4. Ma'qud 'alaih (benda atau barang).
  4. Syarat Jual Beli

    Dalam jual beli terdapat empat macam syarat, yaitu:

    1. Syarat terjadinya akad (in'iqad)
    2. Syarat sahnya akad
    3. Syarat terlaksananya akad (nafadz)
    4. Syarat lujum

Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk menghindarkan pertentangan diantara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang sedang akad, menghindari jual beli gharar (terdapat unsure penipuan), dll.

Jika jual beli tidak memenuhi syarat terjadinya akad, akad tersebut batal. Jika tidak memenuhi syarat sah, menurut ulama Hanafiyah, akad tersebut fasid. Jika tidak memenuhi syarat nafadz, akad tersebut mauquf yang cenderung boleh, bahkan menurut ulama Malikiyah, cenderung kepada kebolehan. Jika tidak memenuhi syarat lujum, akad tersebut mukhayyir (pilih-pilih), baik khiyar untuk menetapkan maupun membatalkan.

  1. Hukum Jual Beli

    Adapun menurut ulama Hanafiyah, dalam masalah muamalah terkadang ada suatu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari syara' sehingga tidak sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan syariat. Akad seperti itu adalah rusak, tetapi tidak batal. Dengan kata lain, ada akad yang batal saja dan ada pula yang rusak saja. Lebih jauh tentang penjelasan jual beli sahih, fasad, dan batal adalah sebagai berikut ini:

    1. Jual beli sahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad.
    2. Jual beli batal adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun, atau yang tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil.
    3. Jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.
  2. Macam-macam Jual Beli.

    Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam:

    1. Jual beli saham
      (pesanan) adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
    2. Jual beli muqayadhah
      (barter) adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
    3. Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.
    4. Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.

Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat bagian :

  1. Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah).
  2. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah).
  3. Jual beli rugi (al-khasarah)
  4. Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang akad saling meridhai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.