Rabu, 09 Mei 2012

MENANAMKAN AKHLAQ MULIA PADA SISWA MI


BAB I
PENDAHULUAN

A.                 LATAR BELAKANG

Pendidikan akhlaq adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral (akhlaq) dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa hingga ia menjadi mukallaf, pemuda yang mengarungi lautan kehidupan. Tidak diragukan lagi bahwa keutamaan-keutamaan moral, perangai dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang mendalam, dan perkembangan religious yang benar.

Jika sejak masa kanak-kanaknya, anak tumbuh berkembang dengan berpijak pada iman kepada Allah dan terdidik untuk takut, ingat, bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri padaNya, ia akan memiliki potensi dan respon secara instingtif di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, disamping terbiasa melakukan akhlak mulia. Sebab benteng pertahanan religious yang berakar pada hati sanubarinya, kebiasaan mengingat Allah yang telah dihayati dalam dirinya dan instropeksi diri yang telah menguasai seluruh pikiran dan perasaannya, telah memisahkan anak dari sifat-sifat negatif, kebiasaan-kebiasaan dosa dan tradisi-tradisi jahiliyah yang rusak.[1]

Tujuan dari pendidikan budi pekerti (akhlak) itu sendiri ialah membina dan membangun kejiwaan serta keadaan seorang anak, sehingga anak tidak akan terpengaruh oleh lingkungan atau pergaulan yang merugikan dan kalaupun mereka masih juga salah pilih, maka setidak-tidaknya mereka sudah dapat berfikir secara bertanggung jawab dan di dalam diri mereka sudah terbentuk suatu fundamen moral (akhlak) yang baik sebagaimana yang diharapkan.[2]


B.        RUMUSAN MASALAH

1.         Macam-macam pendekatan dalam menanamkan akhlaq mulia pada siswa MI
2.         Macam-macam metode dalam menanamkan akhlaq mulia pada siswa MI

BAB II
PEMBAHASAN

A.     PENDEKATAN DALAM MENANAMKAN AKHLAK MULIA PADA ANAK MI[3]

Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral pada anak usia dini menurut Dwi Siswoyo dkk, (2005: 72-81) adalah indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam perilaku.

Indoktrinasi

Dalam kepustakaan modern, pendekatan ini sudah banyak menuai kritik dari para pakar pendidikan. Akan tetapi pendekatan ini masih dapat digunakan. Menurut Alfi Kohn, dalam Dwi Siswoyo (2005: 27) menyatakan bahwa untuk membantu anak-anak supaya dapat tumbuh jadi dewasa, maka mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui interaksi guru dan siswa. Dalam pendekatan ini guru diasumsikan telah memiliki nilai-nilai keutamaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan kepada anak. Aturan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan disampaikan secara tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka ia dikenai hukuman, akan tetapi bukan berupa kekerasan.

Klarifikasi Nilai

Dalam pendekatan klarifikasi nilai, guru tidak secara langsung menyampaikan kepada anak mengenai benar salah, baik buruk, tetapi siswa diberi kesempatan untuk menyampaikan dan menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk mengungkapkan mengapa perbuatan ini benar dan buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk mendiskusikan isu-isu moral. Pada usia anak-anak MI, perkembangan moral mereka sudah cukup tinggi. Tetapi mereka tetap perlu diberi bimbingan dan pelatihan dalam melakukan penalaran dan keterampilan bertindak secara moral sesuai dengan pilihan-pilihannya.

Teladan atau Contoh

Anak cenderung mempunyai kemampuan yang menonjol dalam hal meniru. Oleh karena itu seorang guru hendaknya dapat dijadikan teladan atau contoh dalam bidang moral. Baik kebiasaan baik maupun buruk dari guru akan dengan mudah dilihat dan kemudian diikuti oleh anak. Figur seorang guru sangat penting untuk pengembangan moral anak. Artinya nilai-nilai yang tujuannya akan ditanamkan oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah daging terlebih dahulu pada gurunya. Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995 : 364-370) guru moral yang ideal adalah merekayang dapat menempatkan dirinya sebagai fasilitator, pemimpin, orang tua dan bahkan tempat menyandarkan kepercayaan, serta membantu orang lain dalam melakukan refleksi. Dalam pendekatan ini profil ideal guru menduduki tempat yang sentral dalam pendidikan moral. Banyak para ahli yang berpendapat dalam hal ini, diantaranya Durkheim, John Wilson, dan Kohlberg. Durkheim, misalnya ia berpendapat bahwa belajar adalah satu proses social yang berkaitan dengan upaya mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa sehingga mereka dapat tumbuh selaras dengan posisi, kadar intelektualitas, dan kondisi moral yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya (Dwi Siswoyo, 2005: 76). Sementara, Kohlberg berpendapat bahwa tugas utama guru adalah memberi kontribusi terhadap proses perkembangan moral anak. Tugas guru disini adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berpikir, mempertimbangkan, dan mengambil keputusan.

Pembiasaan dalam Perilaku

Kurikulum yang berlaku di MI terkait dengan kemampuan moral, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk kelas dan sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak melanggar segera diberi peringatan. Ini adalah pendekatan lain yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral.

B.     METODE DALAM MENANAMKAN AKHLAK MULIA PADA  ANAK MI[4]

Setiap guru akan menggunakan metode sesuai dengan gaya melaksanakan kegiatan. Tetapi yang harus di ingat bahwa pendidik memiliki cara yang khas. Oleh karena itu ada metode-metode yang lebih sesuai bagi peserta didik khususnya siswa MI dibandingkan dengan metode-metode lain. Misalnya saja guru MI jarang sekali yang menggunakan metode ceramah. Orang akan segera menyadari bahwa metode ceramah tidak sesuai dan tidak banyak berarti apabila diterapkan untuk anak MI. Metode-metode yang memungkinkan anak dapat melakukan hubungan atau sosialisasi dengan yang lain akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan minat anak. Melalui kedekatan hubungan guru dan anak, seorang guru akan dapat mengembangkan kekuatan pendidik yang sangat penting (Moeslichatun, 1998:7).

Dalam pelaksanaan penanaman nilai moral pada anak usia dini banyak metode yang dapat digunakan oleh guru atau pendidik. Namun sebelum memilih dan menerapkan metode yang ada perlu diketahui bahwa guru atau pendidik harus memahami metode yang akan dipakai, karena ini akan berpengaruh terhadap optimal tidaknya keberhasilan penanaman nilai moral tersebut. Metode dalam penanaman nilai moral kepada anak usia dini sangatlah bervariasi, diantaranya bercerita, bernyanyi, bermain, dan karya wisata. Penggunaan salah satu metode penanaman nilai moral yang dipilih tentunya disesuaikan dengan kondisi sekolah atau kemampuan seorang guru dalam menerapkannya. Penjelasan lebih rinci masing-masing metode tersebut sebagai berikut :

a.      Bercerita

Bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Otib Satibi Hidayat, 2005: 4.12). Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai social, nilai budaya, dan sebagainya. Kita mungkin masih ingat pada masa kecil dulu tidak segan-segannya orang tua selalu mengantarkan tidur anak-anaknya dengan cerita atau dongeng. Tidaklah mudah untuk dapat menggunakan metode bercerita ini. Dalam bercerita seorang guru harus menerapkan beberapa hal, agar apa yang dipesankan dalam cerita itu dapat sampai kepada anak didik. Beberapa hal yang dapat digunakan untuk memilih cerita dengan fokus moral, diantaranya: Pilih cerita yang mengandung nilai baik dan buruk yang jelas, pastikan bahwa nilai baik dan buruk itu berada pada batas jangkauan kehidupan anak, hindari cerita yang “memeras” perasaan anak, menakut-nakuti secara fisik (Tadzkiroatun Musfiroh, 2005:27-28). Dalam bercerita seorang guru juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara abstrak. Selain itu guru juga bisa memanfaatkan kemampuan olah vocal yang dimilikinya untuk membuat cerita itu lebih hidup. Sehingga lebih menarik perhatian siswa. Adapun teknik-teknik bercerita (Dwi Siswoyo dkk, 2005:87) yang dapat dilakukan diantaranya :
-         Membaca langsung dari buku cerita atau dongeng
-         Menggunakan ilustrasi dari buku
-         Menggunakan media audio visual
-         Anak bermain peran atau sosio drama

Strategi atau cara yang dapat digunakan ketika guru memilih metode bercerita sebagai salah satu metode yang digunakan dalam penanaman nilai moral.

b.      Bernyanyi

Metode bernyanyi adalah suatu pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan bergembira. Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk membangun jiwa yang bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui ungkapan kata dan nada, serta ritmik yang menjadikan suasana pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Pesan-pesan pendidikan berupa nilai dan moral yang dikenalkan kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak tidak disamakan dengan orang dewasa. Anak merupakan pribadi yang memiliki keunikan tersendiri. Pola pikir dan kedewasaan seorang anak dalam menentukan sikap dan perilakunya juga masih jauh dibandingkan dengan orang dewasa. Anak tidak cocok hanya dikenalkan tentang nilai dan moral melalui ceramah atau tanya jawab saja. Oleh karena itu bernyanyi merupakan salah satu metode penanaman nilai moral yang tepat untuk diberikan kepada anak usia dini. Bernyanyi jika digunakan sebagai salah satu metode dalam penanaman nilai moral dapat dilakukan melalui penyisipan makna pada syair atau kalimat-kalimat yang ada dalam lagu tersebut. Lagu yang baik untuk kalangan anak MI harus memperhatikan kriteria sebagai berikut:
-         Syair/kalimatnya tidak terlalu panjang
-         Mudah dihafal oleh anak
-         Ada misi pendidikan
-         Sesuai dengan karakter dan dunia anak
-         Nada yang diajarkan mudah dikuasai anak
    
c.       Karya Wisata

Karya wisata merupakan salah satu metode pengajaran dimana anak mengamati secara langsung dunia sesuai dengan kenyataan yang ada. Dengan karya wisata anak akan mendapatkan ilmu dari pengalamannya sendiri dan sekaligus anak dapat menggeneralisasi berdasarkan sudut pandang mereka sendiri. Berkarya wisata mempunyai arti penting bagi perkembangan anak karena dapat membangkitkan minat anak pada suatu hal, dan memperluas perolehan informasi. Metode ini juga dapat memperluas lingkup program kegiatan belajar anak yang tidak mungkin dapat dihadirkan di kelas. Melalui metode karya wisata ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh anak.

Pertama, bagi anak karya wisata dapat dipergunakan untuk merangsang minat mereka terhadap sesuatu, memperluas informasi yang telah diperoleh dikelas, memberikan pengalaman mengenai kenyataan yang ada, dan dapat menambah wawasan anak. Informasi-informasi yang didapatkan anak melalui karya wisata dapat pula dijadikan sebagai batu loncatan untuk melakukan kegiatan yang lain dalam proses pembelajaran.

Kedua, karya wisata dapat menumbuhkan tentang suatu hal, seperti untuk mengembangkan minat tentang dunia hewan maka anak dapat dibawa ke kebun binatang. Mereka mendapat kesempatan untuk mengamati tingkah laku binatang. Minat tersebut menimbulkan dorongan untuk anak memperoleh informasi lebih lanjut seperti tentang kehidupannya, asalnya, makannya, cara berkembang biaknya, cara mengasuh anaknya, dan lain-lain.

Ketiga, karya wisata kaya akan nilai pendidikan, karena itu melalui kegiatan ini dapat meningkatkan pengembangan kemampuan social, sikap, dan nilai-nilai kemasyarakatan pada anak. Apabila dirancang dengan baik kegiatan karya wisata dapat membantu mengembangkan aspek perkembangan social anak, misalnya  kemampuan dalam menggalang kerja sama dalam kegiatan kelompok.

Keempat, karya wisata dapat juga mengembangkan nilai-nilai kemasyarakatan, seperti sikap mencintai lingkungan kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Karya wisata membantu anak memperoleh pemahaman penuh tentang kehidupan manusia dengan bermacam pekerjaan, kegiatan yang menghasilkan suatu karya atau jasa. Metode karya wisata bertujuan untuk mengembangkan aspek perkembangan anak yang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya pengembangan aspek kognitif, bahasa, kreativitas, emosi, kehidupan bermasyarakat, dan penghargaan pada karya atau jasa orang lain. Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema yang sesuai dengan pengembangan aspek perkembangan anak. Tema yang sesuai adalah tema binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau desa, pesisir, dan pegunungan. Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman nilai moral pada anak usia dini menurut Dwi Siswoyo dkk, (2005:72-81) adalah indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam perilaku.

d.      Bermain Peran

Bermain peran merupakan salah satu metode yang digunakan dalam menanamkan nilai moral kepada anak. Dengan bermain peran anak akan mempunyai kesadaran merasakan jika ia menjadi seseorang yang dia perankan dalam kegiatan bermain peran. Misalnya, tema bermain peran tentang kasih sayang dalam keluarga. Anak akan merasakan bagaimana seorang ayah harus menyayangi anggota keluarga, bagaimana seorang ibu harus menyayangi keluarga, begitu juga bagaimana dengan anak-anaknya.

C.     PENGAPLIKASIAN METODE-METODE PADA MATERI AKHIDAH AKHLAQ MI

NO
METODE
KELAS/
SEMESTER
MATERI
1.
Bercerita
2,3,4,/ II
Kisah-kisah Nabi, Kisah Teladan, Mukjizat para Nabi, dan sebagainya.
2.
Bernyanyi
1/I
Rukun Islam, Asmaul Husna, Nama-nama malaikat beserta tugasnya, dan sebagainya.
3.
Karya wisata
1/I
Tolong-menolong, bersedekah, dan sebagainya.
4.
Bermain peran
1,6/I
Akhlaq baik dan buruk, Akhlaq terpuji, Akhlaq Tercela, Akhlaq terhadap orang tua, dan sebagainya.












BAB III
PENUTUP


A.     KESIMPULAN

1.      Macam-macam pendekatan dalam menanamkan akhlaq mulia pada siswa MI, yaitu:
a.       Indoktrinasi
b.      Klarifikasi nilai
c.       Teladan atau contoh, dan
d.      Pembinaan dalam prilaku
2.      Macam-macam metode dalam menanamkan akhlaq mulia pada siswa MI, yaitu:
a.       Bercerita
b.      Bernyanyi
c.       Karya wisata
d.      Bermain peran


DAFTAR PUSTAKA


Nasih Ulwan, Abdullah,  Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam I, terj., Syaifullah
Kamali dan Hery N. Bandung: Asy Syifa’, 1990.

Lisnawati, Cucu,,Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Budi Pekerti di Sekolahsekolah,
htt://infodiknas.com, diakses 20 Juni 2009.


http://masjidililm.wordpress.com/2008/01/21/trik-penanaman-akhlak-pada-anak/


[1] Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam I, terj., Syaifullah
Kamali dan Hery N. (Bandung: Asy Syifa’, 1990), hal.174.
[2] Cucu Lisnawati,Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Budi Pekerti di Sekolahsekolah,
(htt://infodiknas.com, diakses 20 Juni 2009), hal. 2.
[3] http://bbawor.blogspot.com/2008/08/penanaman-nilai-moral-untuk-anak.html
[4] http://masjidililm.wordpress.com/2008/01/21/trik-penanaman-akhlak-pada-anak/

Kamis, 03 Mei 2012

METODOLOGI PENELITIAN KUANTITATF



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Metodologi  penelitian kuantitatif adalah metodologi yang berdasarkan data dari hasil pengukuran, berdasrkan variable penelitian yang ada. Objek kajian dari metodologi penelitian kuantitatif adalah ilmu eksak atau ilmu pasti. Disebut penelitian kuantitatif karena penelitian ini berdasarkan jumlah atau banyaknya (benda) yang ditelitinya, bukan berdasarkan atas mutu kajiannya.
Metodologi penelitian kuantitatif adalah metodologi yang didesain sangat spesifik, yaitu penelitian yang dirancang untuk mengetahui objek tertentu, atau benar-benar focus terhadap suatu permasalahan saja. Tujuan dari penelitian kuantitatif adalah untuk melakukan tes terhadap teori yang sudah ada sebelumnya, hanya saja ingin membuktikan kebenaran teori yang sudah ada tersebut.
Metodologi penelitian kuantitatif  menggunakan teknik wawancara yang dilakukan secara berkala dan terstruktur, jadi tidak cukup hanya dengan sekali wawancara saja. Instrument yang digunakan dalam metodologi penelitian kuantitatif adalah tes, angket, wawancara dan skala.[1]




B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian dan Macam-macam Skala pengukuran
2.      Pengertian dan Macam-macam Instrumen penelitian






BAB II
PEMBAHASAN

Instrumen penelitian di gunakan untuk mengukur nilai variabel yang di teliti. Dengan
demikian jumlah instrument yang akan digunakan untuk penelitian akan tegantung pada jumlah variabel yang di teliti. Bila variabel penelitiannya lima, maka jumlah instrument yang di gunakan untuk penelitian juga lima. Instrument - instrument penelitian sudah ada yang di bakukan, tetapi masih ada yang harus di buat peneliti sendiri. Karena instrument penelitian akan di gunakan untuk melakukan pengukuran dengan tujuan menghasilkan data kuantitatif yang akurat, maka setiap instrument harus mempunyai skala.

A. Skala Pengukuran
Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang di gunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila di gunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif.
Macam-macam skala pengukuran  tersebut antara lain :[2]
1.    Skala Nominal
Skala pengukuran nominal digunakan untuk mengklasifikasikan obyek, individual atau kelompok. Sebagai contoh pengklasifikasi jenis kelamin, agama, pekerjaan, dan area geografis. Dalam mengidentifikasi hal-hal diatas digunakan angka-angka sebagai simbol.
2.    Skala Ordinal
Skala pengukuran ordinal memberikan informasi tentang jumlah relatif  karakteristik yang berbeda yang dimiliki oleh obyek atau indvidu tertentu. Tingkat pengukuran ini mempunyai informasi skala nominal ditambah dengan sarana peringkat relative tertentu yang memberikan informasi apakah suatu obyek memiliki karakteristik yang lebih atau kurang tetapi bukan berapa banyak kekurangannya atau kelebihannya.
3.    Skala Interval
Skala interval mempunyai karakteristik seperti yang dimiliki oleh skala nomnal dan skala ordinal dengan ditambah karakteristik lain, yaitu berupa adanya interval yang tetap. Dengan demikian peneliti dapat melihat besarnya perbedaan karakteristik antara satu individu atau obyek dengan lainnya.
4.    Skala Ratio
Skala pengukuran ratio mempunyai semua karakteristik yang dipunyai oleh skala nominal, ordinal, dan interval dengan kelebihan skala ini mempunyai nilai 0 (nol) empiris absolut. Nilai absolut nol tersebut terjadi pada saat ketidakhadirannya suatu karakteristik yang sedang diukur. Pengukuran ratio biasanya dalam bentuk perbandingan antara satu individu atau obyek tertentu dengan lainnya.
5.    Skala Pengukuran Sikap
Ada empat jenis skala pengukuran sikap menurut Daniel J Mueller (1992), yaitu:[3] a. Skala Likert
Skala Likert di gunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan resepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena social. Dalam penelitian, fenomena social ini telah di tetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya di sebut sebagai variable penelitian.
b. Skala Thurstone
Skala Thurstone merupakan skala sikap yang pertama dikembangkan dalam pengukuran sikap. Skala ini mempunyai tiga teknik penskalaan sikap, yaitu : 1) metode perbandingan pasangan, 2) metode interval pemunculan sama, dan 3) metode interval berurutan. Ketiga metode ini menggunakan bahan pertimbangan jalur dugaan yang menganggap kepositifan relatif pernyataan sikap terhadap suatu obyek.
c. Skala Guttman
Skala pengukuran dengan tipe ini, akan di dapat jawaban yang tegas, yaitu ya atau  tidak,  benar atau salah, pernah atau tidak, positif atau negative  dan lain - lain. Data yang di peroleh dapat berupa data interval atau rasio dikhotomi (dua alternatif). Jadi kalau pada skala likert terdapat 3,4,5,6,7 interval, dari kata “sangat setuju” sampai “sangat tidak setuju”, maka pada dalam skala Guttman hanya ada dua interval yaitu “setuju atau tidak setuju”. Penelitian menggunakan sakal Guttman di lakukan bila ingin mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu permasalahan yang di tanyakan.
d. Semantic Deferensial
Skala pengukuran yang berbentuk Semantic defferensial di kembangkan oleh Osgood. Skala ini juga di gunakan untuk mengukur sikap, hanya bentuknya tidak pilihan ganda maupun checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinum yang jawaban “sangat positifnya” terletak di bagian kanan garis, dan jawaban yang “sangat negatif” terletak di bagian kiri garis, atau sebaliknya. Data yang di peroleh adalah daya interval, dan biasanya skala ini di gunakan untuk mengukur sikap/karakteristik tertentu yang di punyai oleh seseorang.

B. Instrumen Penelitian
Karena pada perinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran, maka harus ada alat ukur yang baik. Alat ukur dalam penelitian biasanya di namakan instrumen penelitian. Jadi instrumen penelitian adalah suatu alat yang di gunakan mengukur fenomena dalam maupun sosial yang di amati. Secara spesifik semua fenomena ini di sebut variabel penelitian.
Jumlah instrumen penelitian tergantung pada jumlah variabel penelitian yang telah di tetapkan untuk di teliti. Misalnya akan meneliti tentang pengaruh kepemimpinan dan iklim kerja sekolah terhadap prestasi belajar anak. Dalam hal ini ada tiga instrumen yang perlu dibuat yaitu :
1. Instrumen untuk mengukur kepemimpinan
2. Instrumen untuk mengukur iklim kerja sekolah
3. Instrumen untuk mengukur prestasi belajr murid

C. Cara Menyusun Instrumen
Titik tolak dari penyusunan adalah variabel-variabel penelitian yang di tetapkan untuk di teliti. Dari variabel-variabel tersebut di berikan definisi operasionalnya, dan selanjutnya di tentukan indikator yang akan di ukur. Dari indikator ini kemudian di jabarkan menjadi butir-butir pertanyaan atau pernyataan. Untuk memudahkan penyusunan instrumen, maka perlu di gunakan matrik pengembangan instrumen  atau kisi – kisi instrumen.
Sebagai contoh misalnya variabel penelitiannya “tingkat kekayaan” Indikator kekayaan misalnya : rumah, kendaraan, tempat belanja, pendidikan, jenis makanan yang sering di makan, jenis olah raga yang di lakukan dan sebagainya. Untuk indicator rumah , bentuk pertanyaannya misalnya : 1) berapa jumlah rumah, 2) dimana letak rumah, 3) berapa luas masing-masing rumah, 4) bagaimana kualitas bangunan rumah dan sebagainya.

D. Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Dalam hal ini perlu di bedakan antara hasil penelitian yang valid dan reliabel dengan instrumen yang valid dan reliabel. Instrumen yang valid berarti alat ukut yang di gunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat di gunakan untuk mengukur apa yang seharusnya di ukur. Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila di gunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data yang sama. Alat ukur panjang dari karet adalah contoh instrumen yang tidak reliabel/konsisten.
Dengan menggunakan instrument yang valid dan reliabel dalam pengumpulan data, maka di harapkan hasil penelitian akan menjadi valid dan reliabel. Jadi instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel. Hal ini tidak berarti bahwa dengan menggunakan instrument penelitian yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya, otomatis hasil (data) penelitian menjadi valid dan relabel. Hal ini masih akan di pengaruhi oleh kondisi obyek yang di teliti, dan kemampuan orang yang menggunakan instrumen untuk mengumpulkan data. Oleh karena itu peneliti harus mampu mengendalikan obyek yang di teliti dan meningkatkan kemampuan dan menggunakan instrument untuk mengukur variabel yang di teliti.

E. Pengujian Validitas dan reliabilitas Instrumen
1. Pengujian Validitas Instrumen
a. Pengujian Validitas Konstrak ( Construct Validity )
Untuk menguji validitas konstrak, dapat di gunakan pendapat dari ahli (judgment experts). Dalam hal ini stelah instrument di konstruksi tentang aspek-aspek yang akan di ukur dengan berlandasan teori tertentu, maka selanjutnya di konsultasikan dengan ahli. Para ahli di minta pendapatnya tentang instrument yang telah di susun itu.
b. Pengujian Validitas (content Validity)
Untuk instrument yang berbentuk test, pengujian validitas isi dapat di lakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan materi pelajaran yang telah di ajarkan. Seorang dosen yang member ujian di luar pelajaran yang telah di tetapkan, berarti instrument ujian tersebut tidak mempunyai validitas isi
c. Pengujian Validitas Eksternal
Validitas eksternal instrument di uji dengan cara membandingkan (untuk mencari kesamaan) antara kriteria yang ada pada instrumen dengan fakta ± fakta empiris yang  terjadi di lapangan .
2. Pengujian Reliabilitas Instrumen
Pengujian reliabilitas instrumen dapat di lakukan eksternal maupun internal. Secara ekternal pengujian di lakukan dengan test, retest (stability), equivalent, dan gabungan keduanya. Secara internal reliabilitas instrument dapat di uji dengan menganalisis konsistensi butir - butir yang ada pada instrument dengan teknik tertentu.[4]





BAB III
PENUTUP


A.  KESIMPULAN

Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang di gunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila di gunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif.
Macam-macam skala pengukuran  tersebut antara lain : Skala Nominal, skala ordinal, skala interval, skala ratio, skala pengukuran sikap.
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang di gunakan mengukur fenomena dalam maupun sosial yang di amati. Dalam hal ini ada tiga instrumen yang perlu dibuat yaitu :
1. Instrumen untuk mengukur kepemimpinan
2. Instrumen untuk mengukur iklim kerja sekolah
3. Instrumen untuk mengukur prestasi belajr murid






















[2] Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Graha Ilmu (Yogyakarta: 2006), hlm. 93-94.
[3] Bambang Prasetyo, Metode Penelitian Kuantitatif, PT. RajaGrafindo Persada, (Jakarta: 2008), hlm. 110-117
[4] http://www.scribd.com/doc/83630883/BAB-6-Teknik-Pengumpulan-Data